Pergi ke Pantai Kuta (Bali) bukanlah hal yang luar biasa bagi kebanyakan orang karena mereka pergi kesana dengan menggunakan kendaraan bermotor. Lalu bagaimana dengan bersepeda di Pantai Kuta? Saya sudah mencobanya sendiri dan ternyata mengasyikkan.
Pada bulan Februari 2012 saya berkesempatan untuk berkunjung ke rumah keluarga besar. Kesempatan ini tidak saya lewatkan untuk turut serta membawa sepeda kesana. Pada hari kedua saya menginjakkan tanah di Bali (Rabu 01/02), sempat ada rasa jenuh karena terlalu lama berada di rumah. Berawal dari rasa jenuh inilah timbul ide untuk gowes ke Pantai Kuta di sore hari itu.
Jam sudah menunjukkan pukul 16.30 WITA dan entah kenapa di bulan ini sore hari menjadi lebih panjang daripada biasanya. Hal inilah yang menginspirasi saya untuk gowes ke Pantai Kuta dan menikmati sunset (matahari terbenam) disana. Sebagai informasi, Pantai Kuta memang menghadap barat – jadi merupakan tempat yang cocok untuk menikmati matahari terbenam di sore hari menjelang petang.
Sepeda dan perlengkapan untuk menjelajah sudah siap, waktunya untuk eksekusi.
Dari rumah yang terletak di Desa Sibangkaja (Kab. Badung) saya berminat untuk menjelajahi desa sebelah terlebih dahulu. Hitung-hitung sebagai pemanasan setelah 2 hari di Bali tidak gowes sama sekali. Desa sebelah tersebut bernama Blumbungan, terletak sekitar 1 km dari rumahku. Untuk menuju desa ini sebenarnya ada banyak sekali jalan. Tapi karena tujuan menjelajah, aku mengambil jalan pintas dengan melewati turunan tangga (dari atas bukit) yang terbuat beton.
Meskipun tangga ini terletak di sekitar pemukiman warga, kondisi sekitarnya masih asri. Tangga yang menuruni bukit dengan ketinggian sekitar 10m terasa asyik sekali ketika dituruni dengan sepeda, terlebih dengan kecepatan tinggi. Namun karena waktu itu tidak ada body protektor, pelan-pelan saja lah supaya bisa menikmati sunset dengan tanpa keluhan sakit 😀
Setelah menuruni bukit, melewati jembatan kecil, dan naik bukit kembali sampailah saya di Desa Blumbungan. Desa ini masih tergolong sepi karena rumah antar penduduk tidak rapat jaraknya. Di desa ini dibangun sekolah alami Green School yang menjadi sekolah favorit para anak bule. Namanya saja sekolah alami, bangunan yang ada di sekolah ini hampir keseluruhan menggunakan bahan alami. Atapnya terbuat dari jerami, Pilar penyangga gedung terbuat dari kayu, dan juga bagian-bagian lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.
Ketika menjelajahi jalanan di desa Blumbungan, saya penasaran dengan sebuah jalan yang berada di pinggir sungai. Bermodalkan nekat, saya coba untuk menjelajahinya. Ternyata jalan ini mengarahkan saya menuju areal persawahan. Sawah? Lalu bagaimana cara menjelajahinya dengan sepeda? Santai dulu, ada single track yang membelah sawah tersebut. Jadilah penjelajahanku makin asyik karena menyeberangi sungai dan melewati areal persawahan hingga ke Desa Gerih.
Tak terasa sudah sekitar 30 menit berlalu. Pikiranku sempat terbuai dengan single track yang ada di depan mata dan melupakan tujuan awal untuk gowes ke Pantai Kuta. Mau tidak mau harus menuju ke Pantai Kuta secepatnya dengan melewati jalan yang telah saya lewati tadi agar tidak tersesat. Dimulailah latihan fisik sore itu karena saya harus ‘mengayuh pedal’ lebih cepat agar tidak terlambat dalam menyaksikan matahari terbenam.
Memasuki Kota Denpasar hanya ada jalan aspal dan pertokoan yang jadi pemandangan selama bersepeda menuju Pantai Kuta. Duh, sayang sekali waktu singkat membuatku tergesa-gesa. Padahal jika memilih untuk berangkat lebih awal bisa digunakan untuk menjelajah Denpasar, melewati gang-gang sempit hingga mencapai tujuan (Pantai Kuta).
Hampir selama 35 menit bersepeda, sampailah saya di Pantai Kuta yang waktu itu cukup ramai oleh pengunjung. Rupanya banyak juga wisatawan domestik yang mengunjungi pantai ini meskipun bukan pada akhir pekan atau hari libur nasional. Memang pantai ini tidak pernah kehilangan pesonanya untuk menyedot perhatian wisatawan yang mengunjungi Bali.
Setelah menghirup udara pantai sebentar, saya memutuskan untuk mengayuh sepeda kembali menjelajah bibir Pantai Kuta. Jika di paragraf sebelumnya saya mengatakan bahwa pantai ini memiliki pesona, bisa jadi tulisan tersebut saya tarik kembali karena ternyata pantai ini kotor. Ya, dalam beberapa bulan terakhir Pantai Kuta sering diliput oleh TV karena sampah yang berserakan, entah karena pengunjungnya yang tidak bisa membuang sampah pada tempatnya atau sampah tersebut dibawa oleh ombak Selat Bali.
Duh, sayang sekali jika pantai ini kehilangan pesonanya gara-gara sampah. Bagi teman-teman yang akan mengunjungi Pantai Kuta diusahakan untuk tidak membuang sampah sembarangan disana. Kebanyakan tempat wisata pantai memang tidak memiliki bak sampah. Namun, solusi dari saya adalah pastikan Anda membawa tas kresek ketika akan berwisata ke pantai. Tujuannya tidak lain adalah untuk menampung sampah yang Anda hasilkan ketika berkunjung ke pantai. Dengan demikian, Anda sudah menyelamatkan salah satu warisan alam serta menjaga kelestariannya.
Kembali ke sunset, ternyata sore itu di ufuk barat kurang cerah. Matahari yang sedianya terbenam di garis horisontal bumi menjadi tak terlihat karena terhalangi awan. Tak apalah jika aku tidak bisa melihat matahari terbenam di sore itu. Yang pasti aku sudah berhasil menaklukkan tantangan bagi diriku sendiri dalam misi #GowesJelajah #Bali : #PantaiKuta.
Oke, petualangan sore itu ditutup dengan perjalanan pulang menuju rumah yang terletak sekitar 17 km dari Pantai Kuta. Sesampainya di rumah, hari sudah gelap dan sudah waktunya pula untuk beristirahat dan merencanakan petualangan di hari berikutnya.
Nantikan ceritaku yang lain dalam menjelajah Bali menggunakan sepeda. Di tulisan berikutnya akan ada cerita tentang pertemuanku dengan komunitas sepeda di Bali dan menjelajah bersama mereka menuju Kebun Raya Bedugul.
Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya,
Sukses untuk kita semua.
Menyukai bersepeda dan jalan-jalan sambil motret. Kalau ingin dipandu berwisata, bersepeda, atau difotoin di sekitar Bromo dan Malang, kontak via WA aja ke +62852-8877-6565
Leave a Reply