“Kalau belok sini buntu mas. Beda bukit dengan persimpangan yang di depan”, kata petani setempat. Sudah lama tak kudengar kalimat seperti itu. Biasanya aku fokus ngebut saja menyusuri jalur setapak. Gowes kali ini beda karena ada bumbu petualangannya.
Bukit Brakseng
Kondisi cuaca di Bukit Brakseng (Kota Batu) sangat mendukung. Langit berawan membuat matahari tak terasa terik. Kepulan asap di puncak Gunung Welirang tampak sangat jelas. Perbukitan di kejauhan tampak seperti karpet hijau. Pemandangan yang langka karena biasanya muncul kabut atau turun gerimis menjelang tengah hari.

Dimulai sekitar jam 10 pagi, kami susuri jalur setapak membelah perkebunan sayur. Disini lebih banyak area terbuka. Tanahnya kesat karena lebih intens terkena sinar matahari. Kami jadi bisa gowes di turunan sambil sesekali ‘tolah toleh’. Sangat memanjakan mata.
Punggungan Bukit
Kondisi jalur setapak berubah sekitar 15 menit kemudian. Kami mulai masuk jalur setapak di punggungan bukit. Beberapa turunan dan tanjakan landai dihiasi dengan ‘tulang air’ atau ‘jalur nge-rel’. Kalau kondisi ban kurang prima apalagi yang gowes kurang jago, mungkin akan banyak kendala disini.

Hal yang paling kusuka dari punggungan bukit adalah kejutannya. Ada turun pasti ada tanjakan. Menandakan bahwa kami sedang berpindah bukit. Sangat kurasakan manfaat e-MTB di jalur semacam ini.

Jika memungkinkan, kudorong / tarik kawan yang tidak menggunakan e-MTB. Beban kayuhan mereka jadi lebih ringan. Aku pun tidak merasa keberatan. Aku jadi penasaran, sepertinya mode ‘boost’ memang diciptakan oleh Shimano untuk menggendong pesepeda lain. Hehehe
Perkebunan Apel
Bukit demi bukit kami jelajahi hingga sampailah di area perkebunan apel. Apel jenis ‘Ana’ berwarna merah dan rasanya asam manis sangat menggoda untuk dipetik. Tak heran petani setempat juga membuka kebunnya untuk wisata. Pengunjung bisa bebas petik apel dengan biaya Rp 30.000 per orang.

Kesempatan makan apel (apalagi gratisan) tak boleh kami lewatkan. Kulihat Pak Royan merangkak masuk ke kebun apel. Dipungutnya apel yang berjatuhan di tanah. “Kalau sudah di tanah, halallll”, bela Pak Royan. “Kalau sudah masuk kebun ya harammmm”, sanggah Pak Iwan. Mereka debat soal halal haramnya apel itu. Tak peduli siapa yang benar, kutawarkan saja pisau lipat untuk membelahnya. Dan kami semua pun makan Apel Spanyol (Separuh Nyolong) wkwkwk..
Hutan Pinus
Kali ini jalur setapak makin menantang. Kanopi hutan pinus membuat tanah menjadi lembab. Entah sudah berapa kali pindah bukit. Tanjakan ringan hingga sedang harus kami nikmati.

Di tengah hutan yang kupikir terpencil, banyak tumbuh wortel dan kentang. Sesekali kutemui petani yang merawatnya. “Lewat sana jalannya hancur mas. Lebih baik belok sini”, sambut pak tani. Tak kami indahkan arahan pak tani. Jadilah kami gowes menyusuri semak-semak yang rimbun.

Masuk Perkampungan
Makin turun, makin tampak perkampungan. Kulihat ada beberapa wahana permainan. Ternyata kami gowes di atas destinasi wisata baru, Santerra 2 yang terletak di Desa Junggo. Keren juga dilihat dari atas.

Menjelang jam 12, ada diskusi tentang lokasi finish. Rencana awal, kami pilih kafe yang letaknya di tengah kebun. Pada akhirnya, semua takluk dengan godaan gorengan. Kami pun finish di pujasera sekitar lapangan Desa Bumiaji. Break makan sebelum lanjut gowes di jalur berikutnya, jalur Gunung Mujur..
UB Forest
Setelah break makan siang, kami pindah ke rute sesi kedua. Butuh sekitar 30 menit loading dari Bumiaji hingga UB Forest. Sudah jam 1 siang tapi rasanya seperti jam 9 pagi. Suhu masih cukup sejuk berkat langit yang berawan.

Jalur setapak membelah hutan pinus adalah menu pertama. Juga ada selingan hutan bambu dan kebun kopi. Meski di tengah hutan, mayoritas jalan setapak sudah ditutup beton paving.

Tidak banyak jalur setapak yang nge-rel. Karena musim hujan, banyak paving menghijau. Menyisakan keraguan, apakah licin atau masih kesat. Tapi selicin-licinnya paving, tetap saja kupilih. Tanah di tepiannya malah mengkilat. Sudah tahu kan bagaimana licinnya tanah yang mengkilat? Hehehe
Kebun Jeruk
Kanopi hutan pinus mulai ditinggalkan. Kini jalur setapak ganti membelah kebun jeruk. Yang tadinya beralas tanah saja, digantikan dengan batu makadam. Sesekali kutemui motor petani yang parkir di tepi. Meski sering dilewati motor, tak banyak jalur ngerel disini. Mungkin karena cukup landai dan sering terkena sinar matahari.

Disini bisa kurasakan top speed. Tak banyak tikungan atau hambatan lain yang memaksaku ngerem. Bahkan ada beberapa jalur yang lebarnya 2 sepeda. Membuat kami bisa saling mendahului atau menghindari jalan yang rusak.

Tak banyak perkampungan yang kami lewati. Seingatku hanya ada 1 simpangan di ujung desa. Bahkan kandang sapinya lebih mencolok daripada rumah warga.
Finish
Mendekati finish, ada jalur yang jadi sungai dadakan. Tampaknya batas antara parit dan jalan jebol. Akibatnya air masuk dan mengalir di jalan sepanjang 50 meter. Kalau suka basah-basahan, pasti seru melewatinya dengan kecepatan tinggi.

Petualangan kami berakhir di area pemakaman yang cukup luas. Bayangkan, kami finish di simpang tiga yang memisahkan kuburan. Mana kuburannya penuh dengan pohon kamboja yang kering. Bikin film horror disini sepertinya cakep nih. Hehehe

Karena memilih tempat yang luas, kami lanjut ke Rest Area Karangploso. Disini pickup sudah menunggu untuk loading pulang. Sebenarnya kalau gowes hanya butuh sekitar 30 menit untuk tiba di Jalan Soekarno Hatta. Yaaa, kami manfaatkan saja priviledge ini. Toh masih banyak yang harus dilakukan (bebersih) sepulang gowes..
Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya,
Salam gowes dan sukses untuk kita semua..

Menyukai bersepeda dan jalan-jalan sambil motret. Kalau ingin dipandu berwisata, bersepeda, atau difotoin di sekitar Bromo dan Malang, kontak via WA aja ke +62852-8877-6565
Leave a Reply