Tunggangan – Jalur Sepeda (di Bromo) yang Terlupakan

Jalur Tunggangan

Jalur Tunggangan

Tidak banyak pesepeda di Malang yang pernah melewati jalur Tunggangan padahal jalur ini memiliki banyak titik indah untuk dipandang mata. Selain banyak menampilkan keindahan alam Malang Raya, jalur setapak yang berada di jalur ini juga cukup menantang. Penasaran dengan apa yang membuatnya tidak pantas untuk dilupakan?

Start Tunggangan 2

Start Tunggangan 2

Jika tidak suka loading (sepeda diangkut dengan kendaraan bermotor), dibutuhkan usaha ekstra bagi para pesepeda untuk menuju titik awal memasuki jalur Tunggangan. Dari arah manapun untuk menuju ke titik awal, para pesepeda harus melewati beberapa tanjakan aspal dengan kecuraman yang cukup menyesakkan nafas. Jangankan paru-paru, mobil saja untuk menuju titik awal harus menggunakan gigi 1. Jadi, tidak heran jika jalur ini cenderung dilupakan terutama oleh pesepeda yang kurang menyukai jalur tanjakan.

Puncak tanjakan di Tunggangan

Puncak tanjakan di Tunggangan

Tidak ada puncak gunung yang dapat dicapai hanya dengan duduk santai. Setelah nanjak di jalan aspal untuk mencapai titik awal jalur Tunggangan, kita masih diharuskan untuk nanjak di jalur tanah pada 1 km pertama. Dulu kondisinya sangat rusak akibat motor warga yang juga lewat untuk mengakses kebun. Kini sudah ada beberapa tanjakan tanah yang ditutup dengan paving blok sehingga meminimalisir adanya ‘jalur ngerel’ atau sering disebut ‘tali air’.

Pemandangan dari Tunggangan

Pemandangan dari Tunggangan

Ketika sudah mencapai puncak bukit di jalur Tunggangan, semua lelah yang kita nikmati akan terbayar dengan pemandangan indah khas perbukitan di Malang. Aroma pinus yang tumbuh di ketinggian sekitar 700 mdpl terasa sangat menyegarkan saat dihirup oleh paru-paru. Masih teringat kenangan saya bersama beberapa teman-teman pesepeda beberapa tahun lalu disini. Biasanya kami habiskan waktu untuk memasak air dan kemudian ngopi bersama. Gunung, sahabat, dan kopi adalah kombinasi kenangan yang tidak dapat dilupakan.

Turunan di Tunggangan

Turunan di Tunggangan

Jangan lama-lama beristirahat di puncak karena jalur turunan di depan sudah memanggil dan menantang kita. Turunan di jalur Tunggangan saat musim hujan cenderung licin karena tekstur tanahnya yang tidak ditumbuhi akar dan rerumputan sehingga meminimalisir gaya gesek antara ban dengan tanah. Jika sudah berurusan dengan model tanah seperti ini, percayalah bahwa jatuh selalu ke bawah. Percayalah pula bahwa jatuh dari sepeda adalah bagian dari bersepeda gunung. Hehehe.

Warga lokal di Tunggangan

Warga lokal di Tunggangan

Tidak semua jalur turunan di Tunggangan licin. Ada pula beberapa jalur yang tipe tanahnya mudah menyerap air. Ditambah lagi ketika matahari telah bersinar terik, jalur turunan yang berkelok-kelok menjadi semakin asyik. Tapi ingat, karena jalur yang kita lewati juga merupakan jalur warga untuk menuju kebun, berhati-hatilah dengan kehadiran mereka. Jangan sampai kita berkonflik dengan warga setempat yang merupakan pemilik sebenarnya dari jalur Tunggangan.

Turunan licin

Turunan licin

Setelah beberapa jauh tidak melihat perkampungan, kami tiba di Desa Sidoluhur (Kecamatan Lawang). Bertemu dengan jalur aspal menandakan petualangan kami di jalur setapak sudah berakhir. Setelah melihat GPS, ternyata kami hanya gowes di jalur setapak sejauh 8,5 KM. Kami habiskan waktu sekitar 2 jam (termasuk istirahat dan berfoto ria) padahal waktu bersih (gowes) yang tercatat di GPS adalah sekitar 1 jam. Jika dibandingkan dengan durasi loading Malang – Tunggangan termasuk akses jalannya yang memakan waktu sekitar 1 jam memang kurang sebanding. Namun untuk sekelas jalur yang dilupakan (apalagi untuk Anda yang pertama kali berkunjung), jalur Tunggangan saya beri bintang 4 dari 5.

Perkampungan di Tunggangan

Perkampungan di Tunggangan

Setelah bertemu dengan jalur aspal di Desa Sidoluhur, perjalanan menuju rumah harus kami lanjutkan dengan bersepeda melewati aspal di siang yang terik. Angka 15 kilometer adalah jauhnya jalur aspal untuk mencapai jalan Sukarno Hatta (Kota Malang) yang harus kami tempuh. Gowes 8,5 kilometer di jalur turunan tanah harus dibayar dengan gowes 15 kilometer di jalur aspal yang panas. Sungguh jebakan yang menyakitkan bagi teman saya, Ardi Gunawan yang menggunakan sepeda downhill saat itu. Hehehe

Oh iya, sebenarnya mobil penjemput dapat mengangkut kami sejak pertama bertemu di jalur aspal. Jika Anda juga ingin gowes di jalur Tunggangan tanpa ingin gowes ngaspal, mintalah mobil untuk menjemput di Desa Sidoluhur. Saya yakin itu keputusan yang terbaik.

Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya,
Salam gowes dan sukses untuk kita semua.

← Previous Post

Next Post →

3 Comments

  1. Jaman berubah..goweser semakin pragmatis. Melupakan konsep petualangan sebenarnya: Menikmati tiap jengkal perjuangan dalam perjalanannya.

    • Tidak terkecuali semua manusia. Mayoritas lebih pilih beli makanan jadi daripada beli bahan mentah di pasar, kemudian dimasak, makan dengan lahap, dan cuci piring sendiri. Hehehe

  2. Mantaf masBro, jika boleh share titik koordinat lokasi star, biar kita2 bisa ikut merasakan sensasinya…he3x, thanks alot

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *