Berada di ketinggian sekitar 2000mdpl saat subuh membuat beberapa dari kami bergetar melawan dinginnya angin yang berhembus sepoi-sepoi. Pagi itu saya dan beberapa orang kawan goweser yang jauh-jauh datang dari Jakarta rela bangun pagi dan kedinginan hanya untuk menikmati matahari terbit di kawasan Bromo Tengger Semeru. Sekitar pukul 5 pagi kami berangkat dari penginapan yang berada di Cemoro Lawang (Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur) menuju spot untuk menikmati sunrise. Spot yang dimaksud hanya berjarak kurang dari 1 kilometer dari loket masuk. Dengan medan berupa turunan dan tanjakan, dijamin akan mengusir rasa dingin yang menyerang.
Sekitar pukul 5.30 pagi terlihat langit yang berwarna oranye kemerahan di ufuk timur. Momen ini menandakan matahari akan terbit. Ketika berbalik badan dan melihat ke bawah, lautan pasir yang semula gelap dan hanya dihiasi lampu mobil “Hard Top” menjadi semakin terlihat jelas. Lekuk tubuh Gunung Batok mulai berwarna sedikit keemasan dari bagian puncaknya hingga lambat laun kakinya pun demikian. Gunung Semeru yang merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa hanya tampak sebagian karena tertutup oleh kokohnya pegunungan Bromo.
Sebelum gowes menjelajahi lautan pasir Gunung Bromo, kami sempatkan untuk menikmati menu sarapan berupa nasi bungkus dan gorengan serta teh hangat. Pilihan menu nasi bungkus yang kami beli sangat beragam. Ada nasi goreng telur, nasi jagung ikan tongkol, nasi + ayam goreng, nasi + telur dadar, dll. Nasi bungkus yang dijual Rp 10.000,00 ini terbilang enak karena jarang sekali saya temui penjual nasi bungkus di kawasan Bromo. Jika mencari PKL penjual makanan di Cemoro Lawang, bakso dan mie instan adalah menu yang banyak dijajakan di area-area pusat berkumpulnya wisatawan.
Setelah sarapan, sekitar pukul 7 pagi kami lanjutkan kembali menjelajah lautan pasir. Pemberhentian berikutnya adalah Bukit Teletubbies yang merupakan bukit hijau dipenuhi tanaman sejenis ilalang. Bukit yang terletak di KM 7 dari jalur Bromo Classic ini, banyak menyedot perhatian wisatawan. Terbukti dengan banyaknya paket wisata yang menawarkan Bukit Teletubbies. Selain itu, warga setempat yang berprofesi sebagai penjual makanan & minuman juga melirik tempat ini sebagai spot berjualannya. Meskipun bukan berjualan di bangunan permanen, kehadiran para penjual makanan & minuman di Bukit Teletubbies sangat berjasa. Selain dapat mengurangi lapar dan dahaga, mereka juga disiplin dalam menampung sampah plastik pembungkus makanan. Terbukti dengan adanya tas kresek besar penampung sampah yang menggantung di setiap kios / motor.
Dari Bukit Teletubbies, jalur yang akan kami hadapi berikutnya sudah terlihat jelas. Tanjakan beton di punggungan bukit yang semakin naik akan membuat ciut para goweser dengan mental lemah. Jalur tanjakan sepanjang sekitar 2 kilometer ini menyuguhkan pemandangan yang tentu menghibur mata. Sesekali beristirahat untuk mengatur ritme nafas, ternyata sedikit sekali oksigen yang bisa kami hirup. Dengan kaki tanjakan di ketinggian 2000-an mdpl dan puncaknya yang berada di ketinggian 2200-an mdpl, kami harus survive dengan kondisi demikian. Tubuh yang awalnya tidak berkeringat karena hampir sejauh 7 kilometer hanya menghadapi jalur flat dengan medan pasir, kini sudah menjadi “sumber mata air keringat“. Hehehe. Tak apa. untuk menambah semangat kawan-kawan, selalu kusebut warung di puncak Jemplang. Prinsipnya, semakin cepat sampai – semakin cepat pula menikmati hidangan yang telah disiapkan.
Sekitar pukul 9.15 pagi saya yang menjadi pengawal rombongan sampai di Jemplang. Jemplang merupakan persimpangan dari jalur Malang dan Lumajang untuk mengakses Lautan Pasir Gunung Bromo. Jika ingin mengakses Bromo melalui Malang, Anda terlebih dulu harus menuju Pasar Tumpang. Disana banyak tersedia “Hard Top” yang bisa mengantar pengunjung menuju Bromo. Sedangkan untuk jalur dari Lumajang, kendaraan pengangkut menuju Bromo hanya tersedia di Desa Ranu Pani.
Itu tadi sekedar informasi mengenai jalur menuju Bromo. Kini, fokus kembali pada warung di Jemplang. Warung yang berada di ketinggian sekitar 2200mdpl ini menyediakan makanan & minuman berupa mie instan, teh hangat, kopi, air mineral, dan bandrek (air tape). Khusus untuk Bandrek, silakan dicoba terutama ketika kondisi sekitar sangat dingin.
Sesi istirahat sudah selesai. Kini saatnya rombongan bergegas menuju track New Zealand. Dari Jemplang kita akan nikmati track turunan landai yang diawali dengan medan tanah berbatu lepas. Kemudian menyisir punggungan bukit yang dikelilingi oleh tanaman sejenis ilalang. Pemandangan kaldera Gunung Bromo dapat dinikmati dari jalur ini. Suasana mendung makin membantu perjalanan kami karena di depan terdapat beberapa tanjakan makadam yang harus dihadapi. Jangan pernah mengeluhkan tanjakan ini karena sebetulnya dia yang akan menambahkan kenikmatan saat turunan nanti menuju lautan pasir. Hidup turunan!!! Hehehe..
Setelah dihibur oleh tanjakan makadam dan turunan single track tanah pegunungan, kami harus berhadapan kembali dengan jalur flat berpasir. Kondisi jalur berpasir yang ada di Bukit Keciri berbeda dengan jalur berpasir yang ada di Bukit Teletubbies. Karena kendaraan “Hard Top” jarang melewati kawasan ini, akibatnya kondisi pasir tidak padat dan cenderung menyiksa kami. Kondisi tersebut makin diperparah karena dalam waktu 5 hari sebelumnya tidak turun hujan di kawasan Cemoro Lawang. Meskipun medan yang kami hadapi flat, banyak dari kawan-kawan yang menganggapnya lebih dari tanjakan.
Saran saya ketika menghadapi jalur berpasir, putar pedal sekencang-kencangnya (gunakan gear rasio sedang) dan belok-belokkan ban depan agar ia membuka pasir yang kering sehingga ban belakang bisa mendapatkan traksi semaksimal mungkin.
Jalur gowes Bromo Classic ditutup dengan semakin dekatnya kami dengan Gunung Batok. Di dekat Gunung Batok terdapat Pura yang merupakan tempat ibadah warga Hindu. Mayoritas warga Tengger memang beragama Hindu dan Pura tersebut menjadi pusat dari peribadatan warga Hindu Tengger. Jika ingin berkunjung ke Bromo, perayaan Kasada merupakan momen tepat untuk melihat kegiatan ibadah warga Tengger. Sebagai informasi, ibadah Kasada biasanya dilaksanakan menjelang akhir tahun. Bagi yang berminat, Anda bisa mulai mencari informasi sekitar bulan Agustus setiap tahunnya.
Terlepas dari kegiatan ibadah, di dekat Gunung Batok terdapat tempat parkir “Hard Top“. Di lokasi tersebut terdapat patok pembatas antara kendaraan roda 4 dengan kendaraan roda 2 serta kuda. Jika Anda menyewa “Hard Top” dari penginapan menuju kawah Bromo, perjalanan sejauh 2 kilometer dari tempat parkir harus dilanjutkan dengan berjalan kaki, naik kuda, atau naik ojek motor. Untuk opsi terakhir, jarang sekali saya temui karena alat transportasi yang disediakan oleh warga setempat menuju kawah Bromo didominasi oleh kuda. Dengan mengeluarkan “isi dompet” sebesar Rp 100.000 untuk naik kuda dari tempat parkir hingga kaki tangga ke kawah (PP), dijamin momen berkunjung ke Bromo menjadi tak terlupakan.
Tak terasa, kegiatan jelajah track Bromo Classic kami tutup sekitar pukul 3 sore. Kami kembali menuju penginapan yang berada di Cemoro Lawang dengan diangkut oleh pick-up milik warga setempat.
Saya ucapkan juga terima kasih kepada Pak Ricky (Surabaya), om-om dari komunitas Cemen Bike, Rivera Hill, serta Kemenpora yang jauh-jauh datang dari Jakarta dan memberi kesempatan kepada saya untuk menjelajah bersama. Semoga momen ini dapat meningkatkan rasa persaudaraan kita sebagai pecinta kegiatan bersepeda.
Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya,
Salam gowes dan sukses untuk kita semua.
Menyukai bersepeda dan jalan-jalan sambil motret. Kalau ingin dipandu berwisata, bersepeda, atau difotoin di sekitar Bromo dan Malang, kontak via WA aja ke +62852-8877-6565
Dwi Meletz
tanggal 3, 4 Mei 2016 kami dari team MELETZ Tangerang selatan telah mengarungi trek tersebut dibimbing marshal Wahtu Turen..top top trek tersebut
Anom Harya
TOP!! Semoga tidak kapok untuk gowes di Bromo om!!!