Kondisi track di awal, tanjakan aspal dan makadam.

Kondisi track di awal, tanjakan aspal dan makadam.

Pada Minggu (22/02/12) saya berkesempatan untuk survey track gowes di Sirah Kencong (Kec. Wlingi, Kab. Blitar). Ada 3 orang kru Gowes Jelajah yang berangkat dari Malang. Kami bertiga berangkat sekitar pukul 04.50 WIB dari Gerbang Soekarno Hatta Univ. Brawijaya (Malang). Saya membawa sepeda dengan diangkut motor. Sedangkan 2 yang lain menggunakan sepeda pinjaman dari komunitas Matadewa (Wlingi).

Masuk pemukiman warga, kami disambut rombongan itik yang menuju sawah

Masuk pemukiman warga, kami disambut rombongan itik yang menuju sawah.

Pukul 06.40 WIB kami sampai di start point. Karena masih lelah setelah menempuh perjalanan (dengan motor) selama lebih kurang 100 menit, kami istirahat dulu sambil mengecek perlengkapan dan mengambil sepeda pinjaman di rumah pemiliknya.

Start point di Wlingi adalah rumah om Roni yang merupakan anggota komunitas MTB – Matadewa. Kami disambut sangat baik, terbukti dengan datangnya Pak Yamek sebagai ketua dari komunitas ini untuk melihat kondisi ‘tamunya’.

Pada pukul 07.15 perlengkapan dan sepeda sudah siap untuk digunakan dalam Gowes Jelajah Sirah Kencong. Kami pun berpamitan dengan orang tua om Roni dan Pak Yamek yang masih menunggu hingga kami berangkat. Rombongan yang berangkat awalnya berjumlah 5 orang. Ada saya, Octa, dan Tito yang merupakan kru Gowes Jelajah serta om Roni dan om Pras yang merupakan anggota komunitas Matadewa.

Di awal perjalan, kami berhadapan dengan tanjakan aspal yang jalurnya mengikuti aliran sungai. Jadi, sepanjang jalan aspal selalu terdengar gemercik air sungai yang debitnya deras. Saya rasa cukup untuk mengobati lelah karena cuaca yang cerah (padahal musim hujan) dan tanjakan aspal yang bagi saya adalah ‘neraka’.

Selanjutnya, memasuki tanjakan tanah di tengah hutan pinus.

Selanjutnya, memasuki tanjakan tanah di tengah hutan pinus.

Ada beberapa turunan yang bisa mengobati lelah setelah menghadapi banyak tanjakan tanah.

Ada beberapa turunan yang bisa mengobati lelah setelah menghadapi banyak tanjakan tanah.

Setelah jalan aspal, kami memasuki pemukiman warga yang tracknya merupakan tanjakan makadam. Kondisi lingkungan disini sangat asri. Warga masih mempertahankan hutan pinus yang ada di sekitar mereka, bukan dengan membabat habis hutan tersebut dan menjadikannya lahan pertanian. Salut untuk kebijakan yang seperti ini karena jarang sekali hutan yang ada di sekitar pemukiman warga masih bertahan.

Dari pengamatan sepintas saya selama Gowes Jelajah Sirah Kencong, kebanyakan warga disini bermata pencaharian sebagai petani, penebang kayu, dan beternak sapi serta kambing. Terbukti dengan seringnya warga yang lalu lalang membawa alat pertanian, kayu, dan rumput gajah untuk makan ternak.

Selepas dari pemukiman warga, kami benar-benar masuk ke dalam hutan pinus. Ada banyak tipe track yang ada di dalam hutan ini. Track yang mendominasi adalah tanjakan tanah. Tapi tidak terlewatkan pula turunan tanah yang menjadi ‘obat’ akibat lelah dalam menggenjot sepeda ‘melawan’ tanjakan.

Pemandangan dari atas bukit, begitu indahnya.

Pemandangan dari atas bukit, begitu indahnya.

Sampailah kami di gerbang Perkebunan Kawisari

Sampailah kami di gerbang Perkebunan Kawisari.

Sekitar 11 km menggenjot pedal dari start, tibalah kami di gerbang Perkebunan Kawisari. Butuh waktu sekitar 2 jam untuk melahap track tanjakan kombinasi antara makadam dan tanah. Apa itu waktu yang cukup lama? Mungkin karena ada peserta yang kondisinya kurang fit, sehingga memperlambat laju rombongan yang ada di depan. Tak apalah, toh bersepeda juga mengajarkan saya untuk meningkatkan solidaritas.

Perkebunan Kawisari sangatlah luas. Saking luasnya sampai-sampai saya tidak melihat ada batas antara daerah perkebunan dan yang bukan. Tapi yang pasti, ketika akan memasuki perkebunan ini pasti akan melewati pos penjagaan serta gapura yang bertuliskan “Perkebunan Kawisari”.

Setelah sampai disini, cukup sudah tanjakan yang didominasi tanah serta dikelilingi hutan pinus. Om Roni yang memang sudah sering melewati track ini mengatakan bahwa Sirah Kencong berjarak sekitar 4km lagi. Kami pun bersemangat karena 4 km terhitung sangatlah pendek. #Sombong 😀

Kebun kopi di pinggir jalan menuju Sirah Kencong.

Kebun kopi di pinggir jalan menuju Sirah Kencong.

Ternyata 4 km bagi kami adalah sangat jauh dan sangat lama untuk ditempuh. Bayangkan, gapura tadi berada di ketinggian sekitar 600 mdpl. Sedangkan Sirah Kencong yang berjarak hanya 4 km dari gapura memiliki ketinggian 1000 mdpl. Itu artinya kami harus bekerja ekstra dalam menggenjot pedal. Track yang kami lalui pada tanjakan kali ini adalah makadam. Batu-batu yang besar serta tipe jalan yang menanjak sering menghambat laju sepeda kami karena bagian depan sepeda sering ‘lompat-lompat’.

Makan siang di Warung Lesehan Sirah Kencong

Makan siang di Warung Lesehan Sirah Kencong.

Sekitar pukul 11.40 WIB,  kami sudah sampai di pemukiman warga yang berada di dekat Sirah Kencong. Karena ada beberapa anggota yang kurang fit, jadi kami beristirahat di sebuah warung dan bermaksud untuk reload air minum yang stoknya mulai menipis. Momen istirahat ini dimanfaatkan betul oleh anggota yang kurang fit. Mereka sempat tidur beberapa menit, bahkan sampai ‘ngorok’ di depan rumah warga yang juga merupakan warung.

Rombongan sudah sampai di Sirah Kencong.

Rombongan sudah sampai di Sirah Kencong.

Istirahat terlalu lama membuat otot kami menjadi ‘lebih dingin’. Meskipun menghadapi sedikit tanjakan dan banyak turunan, tetap saja kaki ini kurang toleransi. Butuh lebih lama waktu untuk ‘menghangatkannya kembali. Tapi syukurlah, dengan terlihatnya papan bahwa kami sudah sampai di Sirah Kencong dapat membuat semangat kembali lagi. Kami pun berfoto sejenak di papan yang bertuliskan “Selamat Datang di Kebun Sirah Kencong 1000 mdpl“.

Setelah sampai di Sirah Kencong, apa agenda berikutnya? Jika jawaban Anda makan siang, tepat sekali. Kami makan siang terlebih dahulu di warung yang terletak di sekitar kebun teh Sirah Kencong. Kami makan dengan menu Nasi Pecel dan Teh Hangat. Menu sederhana, tapi sangat ‘mengena’ karena untuk mendapatkannya butuh perjuangan dalam mendaki tanjakan makadam. Kami pun makan siang dengan lahap, kecuali om Roni yang ternyata mentraktir makan siang ini.

Pemandangan hutan pinus yang indah. Jalannya menurun pula.

Pemandangan hutan pinus yang indah. Jalannya menurun pula.

Tahukah Anda mengapa om Roni tidak menghabiskan makan siangnya tadi? Itu karena kami sekarang akan menuruni bukit (baca : Downhill) dan butuh konsentrasi tinggi untuk itu. Saya yang menghabiskan nasi pecel sewaktu makan siang tadi malah tidak bisa berkonsentrasi karena perut rasanya seperti dikocok-kocok. Setiap beberapa ratus meter sekali berhenti untuk sekedar mengambil nafas dan menunggu kondisi perut hingga normal kembali. Sedangkan om Roni, tenang saja dalam melibas turunan ini. Sungguh tidak adil bagiku 😀

Mirip seperti track Downhill. Cukup menghibur bagi goweser yang suka jalan turun.

Mirip seperti track Downhill. Cukup menghibur bagi goweser yang suka jalan turun.

Guide dalam Gowes Jelajah Sirah Kencong (22/02/12), om Roni.

Guide dalam Gowes Jelajah Sirah Kencong (22/02/12), om Roni.

Turunan kali ini masih melewati sedikit perkebunan warga dan dominasi hutan pinus. Ketika memasuki hutan pinus inilah, saya sempat berdecak kagum karena track-nya mirip dengan track Downhill yang ada di luar negeri. Jalannya mulus (tidak ada aliran air di tengah jalan) dan banyak sekali pohon di sekitarnya (bukan tebing). Untung saja kondisi perut yang sudah membaik mengijinkan saya untuk beradu nyali melibas turunan disini.

Setelah masuk ke dalam hutan, ternyata ‘momok’ yang saya takutkan harus dihadapi pula. Ada jalur aliran air di tengah track yang kami lewati. Tidak bisa dipungkiri, kami harus menuntun sepeda sampai menemukan track yang sekiranya ‘lebih bersahabat’.

Fotoku di bawah pohon besar di tengah hutan Sirah Kencong.

Fotoku di bawah pohon besar di tengah hutan Sirah Kencong.

Di tengah perjalanan menikmati turunan hutan tropis ini, om Roni mengatakan bahwa sesaat lagi kita akan melewati bagian tengah pohon besar. Jalur yang kita lewati adalah alami, bukan sengaja dilubangi oleh manusia sehingga bisa terkesan membelah pohon ini. Lihatlah foto yang ada di sebelah kiri, itu adalah foto saya sewaktu berada di bawah pohon besar tersebut. Ah, alangkah indahnya pemandangan disini.

Setelah sekitar 40 menit berada di dalam hutan tropis dan berhadapan dengan jalan turunan, kami mulai berhadapan dengan turunan makadam. Ini menandakan bahwa sebentar lagi kami akan memasuki pemukiman warga.

Ternyata benar, kami sudah memasuki pemukiman warga meskipun masih sedikit yang tinggal disana. Kecepatan sepeda dalam menuruni bukit mulai dikurangi demi keselamatan bersama. Setelah itu tidak ada lagi turunan yang se-ekstrim tadi. Hanya ada jalan makadam yang datar hingga kami bertemu dengan aspal.

Dengan bertemunya aspal, berakhir pula penjelajahan ini. Kami pun turun menuju Wlingi melewati jalanan aspal yang sedikit ramai oleh lalu lalang kendaraan warga sekitar.

Sekian cerita mengenai Gowes Jelajah Sirah Kencong (Wlingi – Blitar). Semoga bisa menghibur Anda dan memberikan informasi tentang kegiatan wisata + bersepeda di Blitar.

Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya,
Sukses untuk kita semua.