Seingatku, Kawah Ijen sudah kudatangi sekitar 4 atau 5 kali seumur hidupku. Outing Pramuka saat SMA yang pertama kali membawaku kesini.
Aku sempat tidak percaya saat pacarku memberi ide berkunjung ke Gunung Ijen. Kukira ide itu akan menguap sambil berjalannya waktu. Ternyata kami bisa benar-benar sampai di Paltuding (basecamp Gunung Ijen) pada 13 April 2023.
Kupilih penginapan yang berada di dekat loket pendakian. Tujuannya untuk memangkas durasi perjalanan menuju loket. Terakhir pada 2021, aku menginap di Kota Banyuwangi. Untuk menuju loket diperlukan 1 jam perjalanan. Karena naik motor, aku sampai menggigil kedinginan di jalan.
Aku berasumsi bahwa menginap di sekitar Paltuding adalah pilihan yang paling tepat. Ternyata semua anggota rombonganku sepakat. Karena penginapan hanya 200 meter dari loket, kami bisa bangun lebih siang.
Pendakian ke Kawah Ijen
Butuh 90 menit untuk menunggu persiapan 4 orang wanita dewasa. Tak salah kubangunkan mereka jam 3 pagi. Tepat jam 4.30 kami mulai perjalanan dari penginapan.
Pada 60 menit awal perjalanan butuh kemantapan hati. Maklum, mereka bukan wanita yang terbiasa mendaki. Olahraga terberat yang pernah mereka lakukan adalah nge-gym. Kondisi diperparah dengan kurang tidur beberapa hari ke belakang. Efeknya, nafas jadi sengau dan bahkan ada rasa mual ingin muntah. Sepertinya ini efek tekanan darah rendah.
Setelah 60 menit mendaki, rasa mual perlahan berkurang. Nafas jadi lebih beraturan. Namun sebagian anggota merasa bagian pahanya cukup lelah. Tidak heran karena jalur antara pos 1 hingga pos penambang adalah jalur yang paling curam. Jika jarang jalan kaki, pasti otot kaki yang pertama merasakan lelah.
Pada 30 menit terakhir, jalur pendakian menjadi lebih sempit. Ada pagar dan tebing di kiri kanan jalur. Memang tidak securam jalur sebelumnya. Namun setelah 120 menit berjalan pasti semangat mereka sedikit berkurang. Kuberi lebih banyak asupan sesi foto supaya mereka full senyum. Hehehe
Bekal Menuju Kawah Ijen
Tepat 150 menit jalan dari penginapan, kami sampai di bibir Kawah Ijen. Pisang goreng yang kami bawa dari Paltuding menjadi menu sarapan. Lumayan mengisi perut yang mulai keroncongan.
Bagi kalian yang ingin mendaki ke Kawah Ijen, kusarankan jangan makan pedas dalam 24 jam terakhir. Aku pernah merasakan siksaan dubur. Ya, siksaan dubur!
Mau mendaki ke Kawah Ijen tapi 12 jam sebelumnya makan pedas. Alhasil saat di kawah aku harus lari menuju toilet yang ada di loket. Kalau lari, bisa sekitar 60 menit sampai. Bisa bayangkan gimana rasanya lari 60 menit sambil nahan berak?
Berak di alam bukan jalan ninjaku. Semua titik yang kulihat prospektif hanya sejauh kurang 1 meter dari jalur pendakian. Ada 1 momen dimana aku sudah jongkok tapi belum buka celana. Hassssemmm! Ternyata ada wisatawan lain yang melihatku.
Kubulatkan lagi tekad lari ke toilet. Begitu sampai, lega banget. Sejak saat itu aku bernazar tidak akan lagi makan makanan pedas 24 jam sebelum mendaki ke Kawah Ijen.
Tips Turun ke Kawah Ijen
Bibir Kawah Ijen bukanlah destinasi terakhir. Wisatawan bisa memilih turun ke lokasi tambang belerang. Dari bibir kawah mungkin butuh sekitar 20 menit turun dan sekitar 30 menit mendaki kembali.
Jika ingin turun disarankan menggunakan masker anti belerang. Pada tahun 2007 aku pernah punya pengalaman buruk. Waktu mendaki ke bibir kawah, asap belerang tertiup angin ke arahku. Dengan kondisi nafas ngos-ngosan, aku terpaksa menghirup asap pekat belerang. Aku terbatuk-batuk sampai mengeluarkan air liur.
Karena pada tahun 2007 wisata di Kawah Ijen belum masif, tidak ada persewaan masker. Penambang sekitar hanya memberiku cara tradisional. Basahi kerah baju dengan air minum. Kulum (di-emut) kerah baju dan hanya bernafas gunakan mulut.
Entah cara itu termasuk ‘lampu hijau’ dari segi medis atau tidak. Yang kuingat, aku bisa bernafas lebih nyaman daripada menggunakan hidung. Batuk-batuk masih ada tapi tidak separah sebelumnya.
Spot Foto Pohon di Kawah Ijen
Karena tidak turun ke tambang belerang, kami lanjutkan jalan ke spot foto pohon mati. Tidak banyak tantangan menuju ke pepohonan mati. Justru kesabaran kita yang diuji. Maklum, cukup banyak wisatawan yang ngantri foto disini.
Karena buanyak banget momen yang diabadikan, kami jadi grup terakhir yang meninggalkan Kawah Ijen. Beberapa spot yang awalnya terlihat ramai, jadi sepi karena kami memilihnya untuk jam-jam terakhir sebelum pulang.
Ojek Gerobak Kawah Ijen
Perutku semakin keroncongan. Ternyata sudah jam 9 pagi. Aku memaksa mereka semua agar segera turun. Asap belerang juga semakin pekat tertiup ke arah jalur wisata. Kami sempat berhenti dan terbatuk-batuk karena menghirupnya.
Kami bebas dari asap belerang setelah berada di balik tebing. Udara segar masuk, nafas lebih plong. Sialnya ada persoalan baru yang datang. Lutut beberapa anggota rombongan terasa berat di medan turunan. Dari jalur tebing berpagar hingga pos penambang, mereka harus berhenti beberapa kali.
Sambil merintih kesakitan, kami diikuti oleh beberapa ojek gerobak Kawah Ijen. Mereka seperti menguji mental lutut kami. Kubilang mental lutut karena terjadi debat kusir antara lutut dan mulut.
Karena sayang lutut dan biayanya relatif murah, kami deal menggunakan 2 gerobak untuk 4 orang. Gerobak sudah dimodifikasi sehingga memiliki rem dan busa sandaran. Meski melaju di turunan, sejauh ini tidak ada kecelakaan fatal yang membahayakan siapapun. Nyaman pula meski 1 gerobak dipakai mengangkut 2 orang.
Hanya aku yang melanjutkan jalan kaki. Dari spot pohon mati, terhitung sekitar 90 menit kami sampai di loket. Kalau tidak dengan bantuan gerobak, mungkin bisa 30 menit lebih lama.
Adakah kalian yang pernah mendaki Kawah Ijen? Komen-komen disini pengalaman seru kalian mendaki Kawah Ijen.
Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya,
Salam njepret dan sukses untuk kita semua..
Menyukai bersepeda dan jalan-jalan sambil motret. Kalau ingin dipandu berwisata, bersepeda, atau difotoin di sekitar Bromo dan Malang, kontak via WA aja ke +62852-8877-6565
Leave a Reply