Mulun, ritual pengangkatan dukun baru

Mulun, ritual pengangkatan dukun baru

Gunung Bromo adalah salah satu gunung vulkanik aktif di Indonesia yang banyak dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Lautan pasir yang luas dan dikelilingi oleh tebing-tebing tinggi seperti menjaga Gunung Bromo dan Gunung Batok dari pengaruh buruk. Tak hanya itu, warga setempat yang dikenal dengan suku Tengger pun tetap menjaga kelestarian alam di sekitar Gunung Bromo dengan meneruskan budaya luhur : Yadnya Kasada.

Yadnya Kasada dilaksanakan setahun sekali, tepatnya hari ke-14 bulan Kasadasa pada penanggalan Tengger. Meski mayoritas suku Tengger beragama Hindu, ternyata sistem Kalender Tengger berbeda dengan Kalender Hindu. Jika Kalender Hindu yang merupakan kalender astronomis didasarkan pada pengamatan langit, Kalender Tengger merupakan kalender matematis yang berdasarkan perhitungan angka. (Informasi lebih lanjut mengenai penanggalan Tengger bisa dilihat disini)

Yadnya Kasada tidak terlepas dari sejarah berkembangnya suku Tengger. Nama suku Tengger pun tidak sembarang disematkan kepada orang-orang yang mendiami kawasan pegunungan setinggi antara 2100 – 2400 mdpl tersebut. Dikisahkan sepasang suami istri bernama  Roro Anteng (Putri Raja Majapahit) dan Joko Seger (Putra Brahmana) telah lama menikah namun belum memiliki keturunan. Keduanya kemudian memohon kepada Sang Hyang Widhi untuk diberi keturunan. Oleh Sang Hyang Widhi keinginan tersebut dikabulkan dan lahirlah anak mereka satu per satu berjumlah 25 orang. Karena sebelumnya telah berjanji kepada Sang Hyang Widhi untuk mengorbankan anak terakhir, mereka pun sedih. Anak terakhir yang mengetahui sebab kesedihan Roro Anteng dan Joko Seger pun segera mengambil tindakan dengan mengorbankan dirinya ke dalam kawah G. Bromo. Namun sebelum mengorbankan diri, Ia pun berpesan kepada keluarganya agar tindakan ini dapat diingat oleh keturunannya.

Keturunan Roro Anteng dan Joko Seger yang kemudian dikenal dengan Suku Tengger hingga kini masih merayakan Yadnya Kasada sebagai bentuk syukur atas hasil alam yang mereka terima. Tak heran jika dalam perayaan Kasada banyak sesajen berupa hasil tani, berkebun, dan beternak yang dirangkai dengan rapi dalam sebuah pikulan.

Sesajen yang akan dilarung saat Kasada

Sesajen yang akan dilarung saat Kasada

Hampir secara keseluruhan ritual dilaksanakan di kawasan Pura Luhur Poten yang terletak di Lautan Pasir Gunung Bromo. Banyak warga Tengger yang datang ke Pura ini sambil membawa sesajen dan meminta pemberkatannya kepada para dukun. Adapun ritual yang dilaksanakan saat perayaan Yadnya Kasada antara lain pengambilan air suci dari mata air Widodaren, persembahyangan umat Hindu, pemberkatan sesajen yang akan dilarung, pengangkatan dukun baru (pemimpin upacara agama umat Hindu), dan pelarungan sesajen menuju kawah Gunung Bromo.

Ritual pengambilan air suci dari mata air Widodaren dilaksanakan pada pagi hingga siang hari. Biasanya tidak banyak wisatawan yang mengetahui ritual ini karena hanya beberapa warga dan pemuka agama Hindu setempat yang melakukannya. Menjelang malam, terdapat acara pembukaan yang diisi dengan tarian dan beberapa seni pertunjukan lainnya. Khusus untuk tahun 2014, acara pembukaan Yadnya Kasada dilaksanakan di daerah Tosari (Kab. Pasuruan). Hari semakin gelap dan ritual pemberkatan sesajen mulai dilaksanakan di kawasan Utama Mandala Pura Luhur Poten. Menjelang pukul 4 pagi, dilaksanakan ritual pengangkatan dukun baru yang dikenal dengan istilah Mulun. Ritual Mulun memberikan kesempatan kepada calon dukun untuk mengucap mantra panjang tanpa kesalahan dan jeda. Setelah mengucap mantra, pimpinan dukun kemudian menanyakan kepada warga apakah yang bersangkutan telah sah menjadi dukun. Saaaah!!! Itulah teriakan dari para warga dan wisatawan yang berkumpul mengelilingi podium tempat calon dukun “dilantik”. Menjelang matahari terbit, sekitar pukul 04.30 ritual ditutup dengan pelarungan sesajen menuju kawah. Alat musik tradisional suku Tengger yang dimainkan oleh sekitar 4 orang menjadi penambah semangat bagi para pelarung sesajen. Terpaculah saya dan wisatawan lainnya (terutama fotografer dan wartawan) untuk mengikuti rombongan yang jalannya cepat hingga ke kawah.

Pemberkatan sesajen Yadnya Kasada

Pemberkatan sesajen Yadnya Kasada

Kaki sudah berjalan cepat di tanjakan hampir selama 15 menit tanpa henti. Langkah cepat di tanjakan dan jalur berpasir membuat saya ‘ngos-ngosan’. Bukan hanya oksigen yang masuk ke dalam paru-paru, ternyata juga ada bau belerang yang bercampur dengan oksigen murni di pagi itu. Saya terbatuk-batuk, sesak nafas, dan juga mual-mual akibat mencium bau belerang menyengat yang keluar dari dalam kawah. Saya dan banyak orang yang mengikuti prosesi pelarungan mau tidak mau harus menyerah di beberapa meter menuju tangga kawah.  Lain halnya dengan warga Tengger yang membawa sesajen. Mereka tetap bertahan bagaimanapun beratnya sesajen yang mereka bawa dan juga pekatnya bau belerang.

Tak masalah bagi saya, toh para wartawan yang meliput prosesi pelarungan pun memilih untuk putar balik menuju ke tempat yang lebih ‘aman’. Mereka lebih memilih untuk mengabadikan matahari terbit yang tinggal hitungan menit. Saya pun tidak ketinggalan untuk meletakkan kamera dan mengarahkan lensa menuju ke ufuk timur. Jadilah beberapa foto berikut sebagai pelampiasan atas kegagalan saya dalam mengawal prosesi pelarungan sesajen Kasada hingga ke kawah Gunung Bromo.

Bromo Misty

Misty Bromo

Man behind the lens

Man behind the lens

Kabut pekat menutup Lautan Pasir hingga sekitar pukul 07.30 WIB. Tidak banyak momen landscape yang dapat saya abadikan karena keterbatasan tersebut. Petualangan harus diakhiri karena mata sudah mulai berat setelah begadang semalam suntuk.

Akhir kata
Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya,
Salam jalan-jalan dan sukses untuk kita semua.